Jumat, 07 Oktober 2011

Nonton Bareng dan Diskusi Film G30S di SMAN 1 Sigaluh

Generasi kelahiran tahun 90-an mungkin jarang yang mengenal film G30S PKI. Padahal bagi generasi sebelumnya, film tersebut menjadi tontonan wajib setiap tanggal 30 September di TVRI, satu-satunya televise nasional saat itu. Film tersebut cukup penting maknanya bagi pemerintahan Orde Baru guna menancapakan dominasi kekuasaannya.
Nilai penting itulah yang mencoba dikritisi dalam acara “Nonton Bareng dan Diskusi Film G30S PKI”, yang digelar oleh Musyawarah Guru Mata pelajaran (MGMP) Sejarah SMA Negeri 1 Sigaluh, bekerjasama dengan Ekstrakurikuler Jurnalistik Film Fotografi (JFF) SMA Negeri 1 Sigaluh, pada Kamis (29/09) yang diikuti 150 siswa SMA Negeri 1 Sigaluh.
Acara ini bertujuan selain dalam rangka memperingati Hari Kesaktian Pancasila, juga untuk memupuk nasionalisme genersi mendatang yang mulai luntur. Juga, acara ini bertujuan memberikan wacana baru pada siswa mengenai G30S yang sampai saat ini simpang siur kisah sejarahnya.
Menghadirkan Bowo Leksono (Direktur Cinema Lovers Community Purbalingga), Sidik Wibowo Akhmad (Ketua DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia Banjarnegara), dan Heron Kristanto (Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat), panitia acara berharap memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang G30S dengan aneka kontroversinya, sehingga siswa tidak mengalami kebingungan sejarah.
Siswa yang mengikuti kegiatan ini adalah siswa kelas XII IPS, yang pada semester ini mendapatkan materi mengenai G30S. Pembelajaran  sejarah dengan menonton film dan diskusi dengan narasumber dari luar sekolah seperti ini harapannya dapat memperkaya khasanah pengetahuan dan juga wawasan kebangsaan siswa.

Film Politik yang Dipolitisasi Tinjauan Kritis Film “Pengkhianatan G 30 S/PKI” Oleh: *Bowo Leksono

Benar tebakan Pak Heni Purwono bahwa saya sedang senyum-senyum sendiri saat membaca SMS-nya terkait pembatalan menghadirkan seorang saudara ex-Tapol/Napol di acara “Nonton Bareng dan Diskusi Film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ dalam Rangka Hari Kesaktian Pancasila”. Tentulah senyum saya adalah senyum kesedihan karena artinya, lembaran sejarah Indonesia tahun 1965-1966 terkubur makin dalam. Mari, jadikan kondisi ini sebagai keprihatinan kita bersama bahwa generasi sekarang juga makin buta terhadap sejarah bangsanya.
Saya diminta mengkritisi film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”. Dan saya adalah salah seorang yang saat masa kanak-kanak menjadi korban pencekokan film propaganda ala Rezim Soeharto tersebut. Saat itu, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di setiap akhir bulan September, kami digiring ke sebuah gedung bioskop secara berjamaah menonton film sepanjang lebih dari tiga jam dan lebih dari separo durasi film penuh adegan mencekam. Kemudian dipaksa menyimpulkan bahwa Soeharto adalah Pahlawan. Setelah itu, film produk Orde Baru ini pun muncul tiap menjelang 1 Oktober di stasiun televisi.

Secara filmis dan teknis penggarapan, film yang diproduksi tahun 1983 oleh salah satu sutradara besar Indonesia alm. Arifin C. Noer ini sangatlah berhasil. Dramatisasi dalam film sejarah ini sungguh luar biasa karena memang digiring sebagai sebuah film propaganda kekuasaan saat itu. Imbasnya, saat pergantian kekuasaan, film itu pun tidak pernah menjadi tontonan wajib bagi masyarakat.

Saya tidak tahu dengan pasti alasan mengapa seorang Arifin C. Noer menerima proyek produksi film pesanan penguasa Orde Baru tersebut. Karena memang saya tidak pernah menanyakan itu kepada beliau semasa hidup. Tercatat sedikitnya tiga film bioskop propaganda rezim militer yaitu “Janur Kuning” (Sutradara Alam Surawidjaja, 1979), “Serangan Fajar” (Sutradara Arifin C. Noer, 1981) dan “Pengkhianatan G 30 S/PKI” (Sutradara Arifin C Noer, 1983). Film-film berbiaya mahal itu kemudian menjadi materi bersama buku-buku teks sejarah resmi bagi siswa, bahan penataran P4, serta isi pidato pejabat, terkait bahaya laten PKI. 
Kenyataan bahwa rezim Orde Baru getol menjungkir-balikkan fakta dan akal sehat menjadikan “Pengkhianatan G 30 S/PKI” sebagai film politik yang dipolitisasi oleh pembuatnya (dalam hal ini penguasa Orba). Belakangan, film, buku, dan seabrek dokumen produk Orde Baru dianggap memutar-balikkan sejarah bangsa tanpa pernah ada pelurusan oleh penguasa selanjutnya. Soeharto memang bukan penguasa sembarangan, terbukti selama 33 tahun mampu menyetir Negara ini dengan tangan dingin. Soeharto juga bukan penguasa bodoh, terbukti dia menggunakan media film sebagai alat pembodohan rakyatnya.

Merindukan Lahirnya Film Sejarah 1965
Saya jadi teringat sebuah artikel yang ditulis Prof. Ariel Heryanto, seorang dosen di Universitas Melbourne, Australia. Artikel berjudul “Yang Luput dari Film Indonesia” yang sempat dimuat di Kompas, 16 Januari 2005, itu mempertanyakan “Mungkinkah film Indonesia membantu mendewasakan politik bangsa ini yang seabad lalu terbentuk bersama radio, pers, dan novel? 
Realitanya, sangat jarang, bahkan bila boleh dibilang tidak ada sama sekali, film cerita yang beredar berskala nasional dan komersil yang dibuat oleh orang Indonesia secara mendalam mengangkat luka sejarah tahun 1965. Ini sekaligus otokritik bagi saya sebagai seorang pembuat film. Beberapa film dokumenter dan film pendek dalam jumlah kecil hadir sebagai angin segar. 
Belum lama, sutradara film Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang juga politisi Eros Djarot gagal menyelesaikan sebuah film bertajuk “Lastri”. Dengan alasan klise, bahwa film yang bercerita kisah cinta seorang tentara dan gerwani tersebut dianggap menyebarkan ajaran Komunis. Kampanye bahaya laten Komunis tampaknya akan menjadi kampanye abadi di negeri ini. Kenyataannya, paham komunisme tak lagi mampu hidup di bumi ini. Sementara korupsi yang jelas-jelas laten dan semakin memiskinkan rakyat dibiarkan tumbuh subur. 
Pupuslah harapan kita lahir film berlatar sejarah 1965 yang diproduksi sineas Indonesia secara jujur. Kata Prof. Ariel Heryanto, tanpa memahami sejarah 1965-1966, mungkin kita tak akan pernah mampu mengatasi tantangan bangsa masa kini dan mendatang.

*Sutradara, tinggal di Purbalingga
Disampaikan pada acara “Nonton Bareng dan Diskusi Film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ dalam Rangka Hari Kesaktian Pancasila”, SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, 29 September 2011