Kamis, 15 Juli 2010

ECC SMA Negeri 1 Sigaluh Asah Bahasa Sambil Berwisata


Bahasa Inggris kerap menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar pelajar, tak heran jika di tahun ini pun banyak siswa yang tidak lulus Ujian Nasional karenanya. Kesulitan kerap terjadi mengingat bahasa yang satu ini bukan bahasa kita sehari-hari.
Nah, untuk mengasah keluwesan berbahasa Inggris, Ekstrakurikuler English Conversation Club (ECC) SMA Negeri 1 Sigaluh punya cara tersendiri. Selain program pelatihan regular yang dilaksanakan setiap minggunya, ECC juga mewajibkan para anggotanya yang berjumlah 95 siswa untuk sehari-harinya berbahasa Inggris di sekolah dengan sesama anggotanya.
Agar tak terkesan eksklusif, aturan ini tidak berlaku bagi non anggota ECC, sehingga siiswa yang tidak mengikuti ECC tidak menganaggap anggota ECC sok pintar berbahasa Inggris. Namun anggota ECC juga tidak akan menolak ketika dalam perbincangan sehari-hari diajak menggunakan bahasa Inggris oleh non anggota ECC, malah mereka senang dapat setiap hari mengasah bahasanya.
Nah, di akhir tahun pelajaran, seperti pada Minggu (09/05), anggota ECC berkesempatan mengasah bahasa sambil berwisata di kawasan candi Borobudur Magelang, Taman Sari Kraton Yogyakarta, dan jalan Malioboro Yogyakarta. Menurut Ibu Noer Elisa, pembimbing Ekskul ECC SMA Negeri 1 Sigaluh, kemasan acara wisata untuk mengasah bahasa Inggris sengaja dipilih dengan dua alasan. Yang pertama memberikan penyegaran kepada siswa yang telah mengikuti ujian tengah semester, dan yang kedua di tempat wisata adalah tempat paling mudah mencari patner native speaker untuk mengasah kemampuan berbahasa.
“Jika mengundang native speaker secara khusus, terlebih dari lembaga bahasa akan banyak biaya, kalau di tempat-tempat wisata kan bisa gratis. Siswa juga akan lebih leluasa memilih patner asah bahasa Inggrisnya. Mereka juga kadang sembari menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada para wisatawan manacanegara yang mereka ajak bicara” ujar Ibu Noer Elisa.
Menurut Sri Kuwati, siswi kelas X-5 yang turut mengikuti kegiatan wisata dan asah bahasa tersebut, acara ini sangat menarik dan menantang untuk mengukur sejauh mana kemampuan berbahasa Inggrisnya. “Ada kalanya saya faham apa yang ditanyakan para turis, namun seringkali saya sulit untuk menjawabnya dalam bahasa Inggris. Ya mungkin karena tidak terbiasa. Ada juga kejadian lucu yang saya alami, sudah susah-susah mengajak bicara, ternyata turisnya tidak bisa berbahasa Inggris, dia dari Rusia, jadi kami sama-sama bingung” ujar Sri Kuwati sambil tertawa.
Kegiatan kreatif ECC SMA Negeri 1 Sigaluh memang telah terbukti banyak manfaatnya. Menurut Bapak Supriyanto, Kepala SMA Negeri 1 Sigaluh, ECC telah banyak merubah paradigma siswa, yang tadinya menganggap bahasa Inggris itu susah, kini menjadi mudah. Hal ini berpengaruh positif terhadap kemampuan berbahasa Inggris siswa. Terbukti anggota ECC SMA Negeri 1 Sigaluh menempati peringkat 2 kabupaten untuk TOEFL siswa SMA di tahun 2009, dan juga pernah menjuarai kompetisi debat bahasa Inggris tingkat Karsidenan Banyumas tahun 2007.
Ternyata bahasa Inggris tidak harus ditakuti, namun harus banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih bahasa Inggris merupakan lingua franca atau bahasa persahabatan yang diakui dan dipakai di seluruh penjuru dunia.

DANI DWIJAKA S., DERRA HENGY P., PUTRAGGA SEKTIYASA
Siswa Kelas X-2 SMA Negeri 1 Sigaluh
Pegiat Ekskul Jurnalistik Film Fotografi (JFF) dan English Conversation Club (ECC) SMA Negeri 1 Sigaluh

MOS (Mewujudkan Obsesi Sukses)


Pasal 1: Senior tidak pernah salah
Pasal 2: Jika Senior melakukan kesalahan maka lihat kembali Pasal 1.
Pasal diatas sering kali dianut sebagai sebuah dogma sekaligus ideologi senior sebuah sekolah pada Masa Orientasi Siswa (MOS). Sehingga, tak mengherankan jika dalam gelaran MOS ada saja kejadian perploncoan yang dilakuakn oleh senior kepada junior di sekolah. Hal tersebut tentunya tidak lain dikarenakan MOS seringkali dianggap sebagai ajang balas dendam senior kepada junior, bukan sebagai ajang pengenalan lingkungan murid baru.
Pencegahan
Kondisi tersebut sesungguhnya dapat dicegah jika para pemangku kebijakan dalam sebuah sekolah, dalam hal ini panitia dari siswa, guru, dan kepala sekolah mampu membuat konsep yang cerdas dan elegan mengenai penyelenggaraan MOS.
Sebagai contoh, penugasan bagi siswa baru peserta MOS seharusnya tidak lagi mengedepankan kekonyolan yang seakan mengesankan bahwa murid baru adalah pihak yang harus lugu dengan aneka atribut yang lucu dan sering kali menghinakan diri. Toh, dengan alasan sebagai ajang pembelajaran, bukankah dalam keseharian disekolah nantinya hal-hal konyol seperti itu tidak dipakai sama sekali?
Akan lebih baik jika MOS dikemas dalam konsep cerdas yang sejak awal sudah mendorong siswa baru untuk menjadi pembelajar sejati. Artinya, MOS harus mencipta sebuah suasana akademis serta merangsang daya kritis siswa baru.
Sebagai contoh, siswa baru dapat mulai dikenalkan dengan gaya belajar yang berbeda dari setiap individu, yang meliputi: auditoris (pendengar), visual (penglihat) serta kinestetik (belajar dengan melakukan). Mainkan game-game yang menarik, dan di akhir sesi jelaskan mengenai tujuan dari permainan yang ada sehingga siswa baru akan mulai memetakan dirinya dalam kelompok gaya belajar yang sesuai dengan pembawaannya.
Selain itu, siswa juga harus sedini mungkin ditunjukkan ajang-ajang apa saja yang dapat mereka ikuti untuk dapat meraih prestasi diluar kegiatan akademik formal. Sebagaimana kita ketahui, ajang tahunan senantiasa menunggu talenta-talenta siswa berbakat dari setiap sekolah. Mulai dari ajang Olimpiade Sains Nasional, Olimpiade Olahraga Siswa Nasional, Olimpiade Seni Siswa Nasional, Olimpiade Penelitian Siswa Nasional, dan lain sebagainya baik yang dilaksanakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional maupun oleh pihak-pihak swasta lainnya, baik di tingkat lokal, regional, nasional, hingga internasional.
Peran sekolah disini, selain sosialisasi juga harus melakukan deteksi dan inventarisasi siswa-siswa yang mempunyai bakat dan potensi, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pembekalan yang intensif. Sehingga, pada saatnya ajang kejuaraan itu tiba, maka siswa sudah siap secara intelektual, fisik maupun mentalnya untuk bertanding. Sehingga, tidak ada lagi sistem penunjukan dadakan, yang lebih mengedepankan pada bakat alam seorang siswa.
Contoh terbaik telah dilaksanakan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes) beberapa tahun belakangan. Merasa sadar menjadi universitas ”kelas dua”, pada masa Orientasi Kehidupan Kampus (Okka), mereka memasukkan materi penulisan karya tulis ilmiah, sebagai materi wajib yang harus ditelan oleh mahasiswa baru. Hasilnya, kini ratusan proposal penelitian dari mahasiswa Unnes setiap tahunnya dibiayai oleh Dirjen Dikti, dan dalam ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas), Unnes kini menjadi perguruan tinggi yang sangat diperhitungkan.
Dan terakhir, yang sangat penting, adalah memasukkan materi mengenai karakter dan budaya santun dalam MOS. Hal ini penting diberikan pada saat MOS, saat pertama siswa baru datang ke sebuah sekoalah, mengingat tanpa hal ini, maka berbagai keunggulan akademis maupun nonakademis akan sia-sia semata. Juga, berbagai upaya akan sangat sulit dilakukan tanpa siswa didasari dahulu dengan karakter kesantunan. Ketika karakter santun telah dimiliki oleh siswa, maka yakinlah bahwa MOS tak akan lagi menjadi momok menakutkan bagi siswa baru, melainkan MOS akan menjadi dasar dalam Mewujudkan Obsesi Sukses bagi para siswa baru.

Drs. Supriyanto, MM.
Kepala SMA Negeri 1 Sigaluh Banjarnegara

JFF SMA Negeri 1 Sigaluh Baru Sebulan Berdiri, 3 Film Pun Jadi


Ekstrakurikuler (Ekskul) Jurnalistik Film Fotografi (JFF) SMA Negeri 1 Sigaluh merupakan Ekskul yang terhitung baru. Tepatnya berdiri 01 April 2010 yang lalu. Namun untuk urusan produktifitas berkarya, jangan diragukan. Dalam waktu satu bulan, ekskul JFF telah mampu memproduksi sebanyak 3 buah film pendek. Bukan tanpa alasan sebenarnya 3 film tersebut dibuat dengan cara kilat, mengingat ketiganya dipersiapkan untuk mengikuti ajang festival film yang pada awal bulan Mei dan Juni merupakan deadline pengumpulan.
Meski dibuat dengan cara kilat, namun bukan berarti kualitas film menjadi rendah. Hal itu mengingat sesungguhnya proses persiapan pembuatan film dalam bentuk skrip skenario dan juga riset objek lokasi sudah berlangsung sejak awal Februari. Terlebih, dibawah bimbingan dari guru yang pernah berpengalaman membimbing anak-anak SMP Nasima Semarang menjadi finalis nasional Panasonic Kid Witnes News (KWN) 2009, membuat proses pembuatan 3 film tersebut semakin mudah.
Sebagai ajang uji coba pertama, film berjudul ”Beternak Babi di Kampung Santri” telah diikutkan dalam Festival Film Purbalingga 2010. Film besutan sutradara Derra Hengky Pramana, siswa kelas X-1 SMA Negeri 1 Sigaluh ini mengambil setting Dusun Brayut, Desa Gembongan, Kecamatan Sigaluh, Banjarnegara. Kemenarikan film ini yang sangat tepat dengan tema festival film, yaitu menyorot tentang seorang perempuan peternak babi di lingkungan yang ada pesantrennya. Didalamnya memang tidak terdapat konflik terbuka, hanya saja hati orang siapa yang tahu?” begitu kata Ibu Suwarno, sang pemilik peternakan babi yang sekaligus menjadi objek utama film dokumenter tersebut, mengomentari keberadaan peternakan babinya.
Film kedua berjudul ”Mengintip Jejak Peninggalan Kerajaan Islam di Banjarnegara”, dan ”Sabrina Pembatik Cilik”. Kedua film ini telah diputar dan dilombakan dalam Festival Film Purbalingga 2010 dan Festival Film Pelajar Indonesia 2010 yang diselenggarakan oleh Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada akhir Juni. Kedua film tersebut mengisahkan tentang keunikan sejarah dan budaya Desa Gumelem yang sekarang dijadikan desa wisata di Kabupaten Banjarnegara. Desa Gumelem pada masa lampau merupakan sebuah tanah perdikan dari kerajaan Mataram Islam, sehingga tidak aneh jika di Desa Gumelem saat ini masih ditemukan masjid kuno yang berdiri pada tahun 1600-an, dan juga tradisi membatik yang hingga kini tetap lestari. Kedua hal itulah yang dibidik oleh kamera anak-anak JFF menjadi dua buah film dokumenter yang apik. Film ”Sabrina Pembatik Cilik” bahkan telah berhasil masuk menjadi nominasi lima besar film terbaik Festival Film Purbalingga, dan bahkan menjadi film kedua terfavorit pilihan penonton dalam festival yang berlangsung 26 hingga 29 Mei lalu.
Pesan yang ingin disampaikan dalam kedua film tersebut, selain mencoba mengangkat budaya dan sejarah Desa Gumelem, juga untuk menggugah kesadaran para pemangku kebijakan (stake holder) untuk berbuat sesuatu. Hal ini mengingat dalam film ”Sabrina Pembatik Cilik”, tokoh Sabrina yang berprestasi dalam seni batik dan berusaha melestarikan tradisi, namun justru terancam putus sekolah mengingat tidak mempunyai biaya, dan penghasilan dari membatik tidak seberapa.
Nah, ternyata umur sejagung tidak lantas menjadi alasan bagi Ekskul JFF SMA Negeri 1 Sigaluh untuk miskin karya. Justru dengan semangat yang masih membara, Ekskul JFF ingin unjuk gigi dan membuktikan diri bahwa yang muda bisa produktif berkarya. Semoga semangat ini tidak hanya anget-anget tahi ayam, namun akan semakin berkobar dan semakin banyak meraih prestasi dikemudian hari.

HENI PURWONO, S.Pd.
Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Sejarah Undip
Guru IPS Sejarah SMA Negeri 1 Banjarnegara
Pembina Ekskul JFF SMA Negeri 1 Sigaluh Banjarnegara